Dua adalah Angka paling molek. Indah. Tak canggung
menampilkan lekuk tubuhnya. Anggun, tapi tak lemah. Dia punya tumpuhan
horizontal yang kokoh dan tak pernah lelah menopang lekuk aduhainya.
Tapi,
menjadi dua tidak melulu indah. Kadang dua membawa kecewa. Terlebih saat
lahirnya anak ke-dua.
“Anaknya
baru lahir ya?” Seseorang dengan senyum sumringah mencoba mengklarifikasi kabar
gembira yang ia dengar.
“Iya.”
Sang suami yang istrinya masih di ruang bersalin menjawab.
“Cowok
apa cewek ?”
“Cowok
lagi.” Senyum di bibirnya melebar bersama dengan kecewa dalam hatinya yang juga
tidak kalah melebar.
Bahkan
seseorang yang bertanya itu, seolah membaca kecewa yang bercongkol di hati pria
itu. Dia mencoba menghibur. “Ah… gak apa-apa. Besok-besok bikin lagi yang
cewek.”
Sang
pria hanya tersenyum. Semua seolah biasa saja, padahal bukan rahasia umum lagi
jika anak kedua menumbuhkan harapan yang besar sejak ada di tempat kokoh nan
suci. Harapan itu adalah, kelak jika terlahir, semoga anaknya cewek (jika anak
pertama cowok) dan sebaliknya. Selanjutnya, jika takdir tidak mau berkompromi
dengan harapan di hati, maka akan timbul kecewa. Meski dalam perjalanan waktu,
dua si pembawa kecewa akan menerima. Dan hati mereka yang kecewa terpaksa atau
tidak, juga harus menerima.
Bayangkan
saja kalau si-Dua sudah bisa mendengar, melihat, dan merasa saat baru tiba di
dunia, bagaimana perasaan dia? Baru procot saja sudah dialiri energi negatif,
Energi kecewa, energi kegembiraan yang seolah dipaksa, padahal kecewa jauh mengendap
di dalam sana.
Angkah
seindah dua, juga rela dicoreng citranya demi awalan dan imbuhan mungil, namun
menyisakan keburukan yang tak sebanding. Sebut saja, dualisme, mendua,
diduakan. Dua tak pernah protes. Tak pernah menanyakan:
Kenapa
dualisme? Kenapa tidak satuisme?
Kenapa
harus mendua? Kenapa sih satu jika diawali me- jadi bagus? Menyatu.
Kenapa
harus diduakan berkonotasi jelek? Padahal disatukan sangat indah.
Dua tetap tegar. Dua hanya diam dan sabar.
Tak
hanya anggun, indah, dan sabar. Dua juga angka yang humble. Dia rela dijelma
menjadi satu. Satu disebut untuk mengartikan dua atau lebih. Satu seolah
mendompleng kebaikan dua demi nama baik yang ia dapat.
Satu
hati pria saat bertemu dengan satu hati wanita, akan menjadi dua hati yang
bersama. Mereka bisa disebut berdua. Tapi entah kenapa orang lebih suka
menyebutnya bersatu. Bukan berdua. Jika satu tidak mampu, dua datang
menguatkan. Mereka menyebut dua kekuatan yang bersama itu persatuan. Bukan
perduaan. Dua tak pernah iri, apalagi dengki. Juga tidak memohon disebut
perduaan.
Dua
tak pernah disebut untuk kebaikannya. Dalam perlombaan, pasti ada juara dua.
Tapi orang tak pernah menyebut itu. Semua menyebut runner up. Sesuatu yang
membahagiakan pun, tak lantas membuat dua disebut-sebut dan dieluh-eluhkan. Dua
sembunyi. Membiarkan angka dan kata lain merebut nama baiknya.
Dua,
memang angka indah. Tidak hanya bentuknya, juga kepribadiaannya. Dua
mengajarkan untuk menerima, mengerjakan untuk merelakan, mengajarkan untuk
rendah hati, mengajarkan untuk sederhana. Meski satu ingin sekali terlihat
‘wah’ diantara semua angka, dua tetap indah dengan segala sifatnya.
Memang
benar menjadi dua tidak harus indah. Tapi untuk apa menjadi satu jika dua saja
sudah indah fisik dan sifatnya? So far, Two is better than one. Menurut saya.
Surabaya,
2 Juli 2013
Untuk
Angka Dua yang tersayang, DKV 2
SMKN
1 Surabaya 2010-2013
No comments:
Post a Comment