Pages

Ads

Monday 5 August 2013

Dua

Dua adalah Angka paling molek. Indah. Tak canggung menampilkan lekuk tubuhnya. Anggun, tapi tak lemah. Dia punya tumpuhan horizontal yang kokoh dan tak pernah lelah menopang lekuk aduhainya.
            Tapi, menjadi dua tidak melulu indah. Kadang dua membawa kecewa. Terlebih saat lahirnya anak ke-dua.
            “Anaknya baru lahir ya?” Seseorang dengan senyum sumringah mencoba mengklarifikasi kabar gembira yang ia dengar.
            “Iya.” Sang suami yang istrinya masih di ruang bersalin menjawab.
            “Cowok apa cewek ?”
            “Cowok lagi.” Senyum di bibirnya melebar bersama dengan kecewa dalam hatinya yang juga tidak kalah melebar.
            Bahkan seseorang yang bertanya itu, seolah membaca kecewa yang bercongkol di hati pria itu. Dia mencoba menghibur. “Ah… gak apa-apa. Besok-besok bikin lagi yang cewek.”
            Sang pria hanya tersenyum. Semua seolah biasa saja, padahal bukan rahasia umum lagi jika anak kedua menumbuhkan harapan yang besar sejak ada di tempat kokoh nan suci. Harapan itu adalah, kelak jika terlahir, semoga anaknya cewek (jika anak pertama cowok) dan sebaliknya. Selanjutnya, jika takdir tidak mau berkompromi dengan harapan di hati, maka akan timbul kecewa. Meski dalam perjalanan waktu, dua si pembawa kecewa akan menerima. Dan hati mereka yang kecewa terpaksa atau tidak, juga harus menerima.
            Bayangkan saja kalau si-Dua sudah bisa mendengar, melihat, dan merasa saat baru tiba di dunia, bagaimana perasaan dia? Baru procot saja sudah dialiri energi negatif, Energi kecewa, energi kegembiraan yang seolah dipaksa, padahal kecewa jauh mengendap di dalam sana.
            Angkah seindah dua, juga rela dicoreng citranya demi awalan dan imbuhan mungil, namun menyisakan keburukan yang tak sebanding. Sebut saja, dualisme, mendua, diduakan. Dua tak pernah protes. Tak pernah menanyakan:
            Kenapa dualisme? Kenapa tidak satuisme?
            Kenapa harus mendua? Kenapa sih satu jika diawali me- jadi bagus? Menyatu.
            Kenapa harus diduakan berkonotasi jelek? Padahal disatukan sangat indah.
Dua tetap tegar. Dua hanya diam dan sabar.
            Tak hanya anggun, indah, dan sabar. Dua juga angka yang humble. Dia rela dijelma menjadi satu. Satu disebut untuk mengartikan dua atau lebih. Satu seolah mendompleng kebaikan dua demi nama baik yang ia dapat.
            Satu hati pria saat bertemu dengan satu hati wanita, akan menjadi dua hati yang bersama. Mereka bisa disebut berdua. Tapi entah kenapa orang lebih suka menyebutnya bersatu. Bukan berdua. Jika satu tidak mampu, dua datang menguatkan. Mereka menyebut dua kekuatan yang bersama itu persatuan. Bukan perduaan. Dua tak pernah iri, apalagi dengki. Juga tidak memohon disebut perduaan.
            Dua tak pernah disebut untuk kebaikannya. Dalam perlombaan, pasti ada juara dua. Tapi orang tak pernah menyebut itu. Semua menyebut runner up. Sesuatu yang membahagiakan pun, tak lantas membuat dua disebut-sebut dan dieluh-eluhkan. Dua sembunyi. Membiarkan angka dan kata lain merebut nama baiknya.
            Dua, memang angka indah. Tidak hanya bentuknya, juga kepribadiaannya. Dua mengajarkan untuk menerima, mengerjakan untuk merelakan, mengajarkan untuk rendah hati, mengajarkan untuk sederhana. Meski satu ingin sekali terlihat ‘wah’ diantara semua angka, dua tetap indah dengan segala sifatnya.
            Memang benar menjadi dua tidak harus indah. Tapi untuk apa menjadi satu jika dua saja sudah indah fisik dan sifatnya? So far, Two is better than one. Menurut saya.

Surabaya, 2 Juli 2013
Untuk Angka Dua yang tersayang, DKV 2
SMKN 1 Surabaya 2010-2013

No comments:

Post a Comment

Other Post

Populer

Kembali Ke Atas