Sebelas
- Sebelas
Sebelas November, Bukan
hari yang special. Bukan hari yang harus dirayakan. Bukan juga hari yang harus
dihindari. Sebelas November, hanya hari biasa tanpa perayaan apa-apa yang harus
aku lalui dengan sepenuh hati.
Siang ini, Rena, sahabatku, mengajakku makan siang di
warung langganan kami semasa kuliah dulu. Selain untuk mengisi perut, kami
berniat menyelami kenangan Kala kami dengan bangganya mengenakan almamater
berwarna kuning.
Ketika tanganku menyibak tirai kain penutup warung, Hanya
lengang yang menyambut kami. Sepi, bersih. Hanya suara televisi yang menyelinap
masuk ke telinga kami.
“Bu Mina….” Rena Mencoba memanggil pemilik warung. “Bu
Mina….” Usaha kedua masih belum membuahkan hasil. Sampai usaha ketiga dan entah
yang ke berapa, kami menyerah hingga kami terpaksa duduk diam sambil menonton
TV yang sedari tadi menyalah tanpa penonton.
“Kok sepi sih nih warung?” ucap Rena.
“Tauk ah.” Jawabku seraya mengangkat bahu.
Suasana warung ini sudah sedikit berubah dibanding tiga
tahun yang lalu. Aku tidak lagi menemukan meja panjang di sudut ruangan. Meja
yang dulu mampu menjelma jadi meja makan romantis ala restoran. Saksi bisu
kebersamaan diriku dan kekasihku, kini sudah tiada. Tapi memori tentangnya,
tetap tersimpan rapih dalam sanubari.
“Ya ampun Rena, Tata, sudah lama nunggu Ibu?” Kehadiran
pemilik warung yang sudah akrab dengan kami membuyarkan lamunanku.
“Iya. Udah tiga jam bu.” Jawab Rena dengan nada ketus.
“Ala, lebay lu Ren.” Aku menimpali. “Enggak kok bu. Baru
lima menit. Ibu dari mana sih?”
“Biasalah, jam segini Ibu ke masjid. Kalian itu yang
kemana aja? udah lulus gak pernah main lagi kesini.”
“Ah… Kemana aja kita itu gak penting. Yang penting
sekarang Bu Mina harus bikin nasi pecel buat ngisi perut kami. Tititk.” Aku
tertawa. Rena selalu saja begitu. Dari dulu tidak berubah. ucapannya yang
ceplas-ceplos tidak kontras dengan gaya tomboynya.
“Iya iya Rena. Awas kalo ngutang!”
Setelah itu Bu
Mina berlalu disertai tawa dari mulut kami. Hanya butuh dua wanita untuk
membuat warung itu jadi bising. Bising oleh celotehan kami, tawa kami, dan
kehebohan yang terkesan berlebihan.
Setelah sedikit menunggu, Bu Minah keluar dengan nampan
terisi penuh. “Ini, silahkan pecelnya.” Bu Mina menyajikan dengan ramah.
“Bu!” Aku menghentikan langkah Bu mina yang hendak kembali
ke dapur.
“Ada apa Tata? Mau nambah lauknya?”
Aku menggeleng. “meja yang di pojokan situ sekarang
dimana?”
“oh, itu. Dibongkar. Dibuat kayu bakar. Soalnya udah
mulai rusak. Udah dimakan rayap. Kenapa emangnya?”
“Enggak apa-apa bu.”
Lihat, saksi bisu tentang dirimu sekarang tiada sayang.
Aku tak tahu lagi harus mengenangmu lewat benda apa lagi. Benda pemberianmu
memang masih ada, Banyak kenangan disitu. tapi kenangan terdahsyat, ada pada
bangku itu. Bangku dimana dirimu menyatakan kesungguhan hatimu Kini lenyap.
***
“Eh, si Randy sekarang udah sukses.” Celetuk Rena disela
kunyahan makan siangnya.
“Randy ketua club photography itu?”
“iya. Dia kerja di Wedding organizer Singapore.”
“Wah… hebat. Kalau si Lina gimana? Kok gak pernah nongol
sih dia?”
“Kemarin dia mention aku, dia pindah ke New Zealand.”
“New Zealand? Kenapa?”
“Tau sendirilah, Papa dia kan duta besar Indonesia buat
New Zealand. Jadi setelah Lina lulus, semua keluarganya diboyong kesana.”
“Oh gitu. Gak pamit ke aku. Sialan tuh cewek.” Tawa
menggema. “Terus, sang pangeranmu itu gimana?” aku menggoda Rena.
Ekspresi wajah Rena seketika berubah. mukanya terlihat lesuh. “Vino ngambil S2 ke
jerman.” Dengan muka kusut, Rena mengabarkan sesuatu yang mencengangkan dan
menggembirakan bagiku.
“Serius?” mataku terbelalak. Aku bangga akan prestasi
randy hingga Mulutku berhenti mengunyah.
Rena mengangguk. Hanya mengangguk. Tidak ada perubahan
ekspresi di wajahnya. Masih tanpa senyum. Tanpa bangkit dari sandaran. Mukanya
tertekuk. Sendok di piringnya ia ketuk-ketuk.
Melihat gelagat anehnya, aku mulai sedikit hawatir. “Kamu
baik-baik aja kan Ren?” Aku raih tangan Rena. “Kok kamu kelihatan sedih?”
Wajah yang tertekuk berubah pucat. Dia menggeleng, “Enggak…”
Bibirnya bergetar. tangannya ia tarik dari genggamanku. Kini, wajah manisnya
terkatup tangan.
“Ren…, Kamu baik-baik aja kan?”
Pundak Rena terguncang. Saat tangan itu turun, matanya
telah memerah dan basah. “Aku gak bisa bayangin,” ucapnya lirih. air mata masih
turun tanpa henti. Isak tangis membuat katanya terhenti sejenak. “Apa aku bisa
ngejalanin hubungan jarak jauh?”
Hubungan jarak jauh………………………
Hubungan jarak jauh…………………………………….
Hubungan jarak jauh……………………………………………………
Kalimat itu menggema di telinga. Aku terhenyak, hatiku
terisak, Kalimat itu mengingatkan akan kisahku. ada sesuatu dari kalimat itu
yang membuat diriku seakan ditampar. Aku mendadak sulit bernafas. Semakin aku
berusaha menghirup udara, semakin terasa sesak di dalam dada. Sesak, sempit,
sangat sesak.
Mungkin aku mau mati pikirku. Mulutku mengangah, Membantu
lubang hidungku mencari udara. Dadaku naik turun. Lalu semua terlihat buram.
Aku masih berusaha menjangkau bulir-bulir oksigen. Aku hirup sekuat tenaga.
Bukan legah yang kudapat, tapi gelap.
***
“Syukur kamu udah sadar. Kamu tadi pingsan. Kamu
tiba-tiba aja sesak nafas. Kamu kok gak pernah cerita kalau punya asma?”
kalimat pertama yang aku dengar setelah terlepas dari gelap. Dan yang
mengatakan itu adalah Rena. Rena masih bersamaku.
“Asma?” tanyaku lirih. “Aku sama sekali gak punya riwayat
penyakit itu.” Aku sendiri heran. bagaimana bisa aku tiba-tiba sulit bernafas
lalu pingsan saat makan?
Hubungan jarak jauh……………….
Hubungan jarak jauh……………………………………
Bagus. Kalimat itu masih terngiang di telinga. Tiga kata
itu begitu ajaib. Bahkan pingsan tak menjamin kalimat itu hilang dalam kelam.
Tetapi hanya sembunyi sesaat, lalu hadir saat terang datang.
Tenggorokanku terasa kering. Aku beranjak dari ranjang.
Baru saja berdiri, sorot mataku langsung tertuju pada kalender. Kalender itu
mengingatkan sesuatu akan diriku dan dirimu, hari ini tanggal sebelas November.
Aku tersenyum kecut. 11-11, Sangat terpampang nyata tanpa
penghalang. Mataku bisa dengan leluasa melihat angka 11-11. Aku terenyuh. Tak terasa
11-11 datang lagi. Hari dimana aku harus memahami dirimu dengan segala
kehidupanmu yang baru. Hari dimana aku menjadi orang satu-satunya yang kau
pinang dengan sebuah janji dan cincin. Hari dimana kesetiaanku diuji.
11-11. Hari dimana dirimu mengikrarkan kesungguhan
cintamu.
11-11. Hari dimana dirimu berpamitan untuk pergi jauh.
Kau memang tega sayang. Memutuskan pergi saat hari
bahagia itu. Tidakkah kau sadari, kepergianmu telah menodai indahnya angka 11-11
yang kau bilang hari berangka cantik. Itulah alasan kenapa 11-11 menjadi hari
biasa yang tanpa perayaan apa-apa, tapi harus aku lewati dengan sepenuh hati.
Tepat tanggal 11 November kita berhubungan jarak jauh,
dan itu tidak mudah. Jarakmu terlalu jauh. Bahkan terlampau jauh. Aku belum
menemukan transportasi yang mampu menjangkau tempatmu berada. Aku tidak bisa
menanyakan kabarmu lewat telepon maupun chating. Di tempatmu kini berada,
fasilitas itu belum ada.
Kamu pergi memang bukan tanpa alasan. Bukan untuk belajar
ke tempat jauh seperti Vino. Bukan untuk bekerja di tempat jauh seperti Randy.
Bukan untuk menetap di Negara yang jauh seperti Lina. Tapi kamu pergi untuk
menuntaskan takdir. Kau pergi meninggalkan semua yang mencintaimu untuk
menghadap sang maha cinta.
Ragamu memang sudah tidak ada sayang. Tapi aku yakin dan
percaya cinta yang kau miliki akan selalu ada. Hidup bersama kami yang masih
hidup. Melebur, bersatu dalam hati mereka yang mencintaimu. Tak terkecuali
diriku.
Aku tadi mendadak sesak nafas. Aku sadar, Mungkin itu
ulahmu sayang. Kau masih disini walau aku tak mampu melihatmu. Kau diam-diam
mencekikku. Membuatku susah bernafas agar aku bisa mati. Agar aku bisa berada
di dekatmu dan hidup bersamamu di alammu. Iya kan sayang?
Jlegaaaaarr… bunyi
petir diluar sana seolah membawa pesan darimu. Lewat suara alam kau menolak tuduhanku.
Kemudian hujan. Hujan turun seolah mewakili air matamu. Air mata kita yang hampir
habis karena kisah ini.
Jlegaaaaarrr…. Bunyi
petir sekali lagi. Inikah isyarat ketidak setujuanmu akan tuduhanku?
Sudahlah, tak usah mengelak. Aku yakin itu memang ulahmu.
Kamu memang pria yang selalu menepati janji. Bukankah kau pernah berjanji akan
selalu hidup bersamaku? Ya, kau baru saja berusaha menepati janjimu.
Sudah cukup. Cukup sayang. Kau tak usah menepati janjimu.
Pergilah! Pergilah menemui damaimu. Jangan menghawatirkanku. Air mata itu sudah
tak ada. Aku sudah terbiasa dengan kesendirian tanpa hadirmu. Aku ikhlas dengan
jarak dua dunia yang ada.
Tenanglah dalam damai! Kau hanya perlu menungguku. Tunggu
aku dalam damai!
Aku berjanji, aku juga akan ikut menunggu. Menunggu tiba
waktunya nafasku terhenti. Saat raga kita sudah sama-sama dimakan tanah, dan
nyawa beserta cinta yang kekal kembali ke haribaannya, saat itulah kita bisa
bersama.
Jangan paksa aku pindah ke duniamu sekarang. Belum
waktunya sayang. Biarkan aku hidup disini tanpa hadirmu. Tanpa senyummu. Aku
bisa melewati hari sendiri. Walau sebenarnya aku ingin sekali segera menemuimu,
tapi aku masih waras. Kontrakku di dunia fana ini masih belum habis. Aku tidak
mungkin menjerat leherku sendiri untuk memutus kontrakku.
Jika kau rindu aku, temui aku dalam setiap mimpiku. Buat
aku bahagia meski hanya dalam mimpi. Dan jika aku rindu, Aku akan menyapa dan
memelukmu lewat doa.
Tunggu aku. Aku akan teguh pada kesetiaanku. Aku akan
sabar menanti giliranku dikirim ke duniamu. Biarkan aku menua. Biarkan aku
menunggu ajal yang akan mengantarkanku menemui dirimu, sayang.
“Tata, kamu ngelamun?” Suara Rena membuyarkan
percakapanku dengan kekasih yang kuyakini masih ada disekitar sini. Aku
mendadak seperti gila. Berdialog dengan arwah?
“Enggak kok Ren.” Jawabku selepas senyuman sinis untuk
ulah bodohku.
“Sudahlah ta. Aku tahu ini hari yang berat buat kamu. Aku
ingat betul tentang tentang peristiwa di tanggal 11 November ini.” Rena
memelukku dengan hangat. “makanya aku ngajak kamu makan keluar biar kamu gak
terlalu larut dalam sedih.” Lanjut Rena.
Air mataku meleleh. Aku sadar, Ternyata masih ada yang
perhatian denganku selain dirimu. Aku beruntung punya sahabat seperti Rena. Aku
memeluk erat tubuh Rena. Membenamkan kepala pada pundaknya seraya berbisik,
“Terimakasih.”
Dalam dekap hangat sahabat, Hatiku kembali menjalin
percakapan dengan dirimu. Entah pesan ini sampai padamu atau tidak. Tapi aku
yakin, kau mampu mendengarnya. Kau mampu melihatnya. Kau lihat sayang, aku
tidak sendiri. Kau tak perlu menghawatirkanku lagi. Semoga kau di alam sana
juga tidak sendirian.
Tunggu
aku sayang!
No comments:
Post a Comment