Pages

Ads

Saturday, 30 November 2013

#KisahNovember

Sebelas - Sebelas
Sebelas November, Bukan hari yang special. Bukan hari yang harus dirayakan. Bukan juga hari yang harus dihindari. Sebelas November, hanya hari biasa tanpa perayaan apa-apa yang harus aku lalui dengan sepenuh hati.
            Siang ini, Rena, sahabatku, mengajakku makan siang di warung langganan kami semasa kuliah dulu. Selain untuk mengisi perut, kami berniat menyelami kenangan Kala kami dengan bangganya mengenakan almamater berwarna kuning.
            Ketika tanganku menyibak tirai kain penutup warung, Hanya lengang yang menyambut kami. Sepi, bersih. Hanya suara televisi yang menyelinap masuk ke telinga kami.
            “Bu Mina….” Rena Mencoba memanggil pemilik warung. “Bu Mina….” Usaha kedua masih belum membuahkan hasil. Sampai usaha ketiga dan entah yang ke berapa, kami menyerah hingga kami terpaksa duduk diam sambil menonton TV yang sedari tadi menyalah tanpa penonton.
            “Kok sepi sih nih warung?” ucap Rena.
            “Tauk ah.” Jawabku seraya mengangkat bahu.
            Suasana warung ini sudah sedikit berubah dibanding tiga tahun yang lalu. Aku tidak lagi menemukan meja panjang di sudut ruangan. Meja yang dulu mampu menjelma jadi meja makan romantis ala restoran. Saksi bisu kebersamaan diriku dan kekasihku, kini sudah tiada. Tapi memori tentangnya, tetap tersimpan rapih dalam sanubari.
            “Ya ampun Rena, Tata, sudah lama nunggu Ibu?” Kehadiran pemilik warung yang sudah akrab dengan kami membuyarkan lamunanku.
            “Iya. Udah tiga jam bu.” Jawab Rena dengan nada ketus.
            “Ala, lebay lu Ren.” Aku menimpali. “Enggak kok bu. Baru lima menit. Ibu dari mana sih?”
            “Biasalah, jam segini Ibu ke masjid. Kalian itu yang kemana aja? udah lulus gak pernah main lagi kesini.”
            “Ah… Kemana aja kita itu gak penting. Yang penting sekarang Bu Mina harus bikin nasi pecel buat ngisi perut kami. Tititk.” Aku tertawa. Rena selalu saja begitu. Dari dulu tidak berubah. ucapannya yang ceplas-ceplos tidak kontras dengan gaya tomboynya.
            “Iya iya Rena. Awas kalo ngutang!”
             Setelah itu Bu Mina berlalu disertai tawa dari mulut kami. Hanya butuh dua wanita untuk membuat warung itu jadi bising. Bising oleh celotehan kami, tawa kami, dan kehebohan yang terkesan berlebihan.
            Setelah sedikit menunggu, Bu Minah keluar dengan nampan terisi penuh. “Ini, silahkan pecelnya.” Bu Mina menyajikan dengan ramah.
            “Bu!” Aku menghentikan langkah Bu mina yang hendak kembali ke dapur.
            “Ada apa Tata? Mau nambah lauknya?”
            Aku menggeleng. “meja yang di pojokan situ sekarang dimana?”
            “oh, itu. Dibongkar. Dibuat kayu bakar. Soalnya udah mulai rusak. Udah dimakan rayap. Kenapa emangnya?”
            “Enggak apa-apa bu.”
            Lihat, saksi bisu tentang dirimu sekarang tiada sayang. Aku tak tahu lagi harus mengenangmu lewat benda apa lagi. Benda pemberianmu memang masih ada, Banyak kenangan disitu. tapi kenangan terdahsyat, ada pada bangku itu. Bangku dimana dirimu menyatakan kesungguhan hatimu Kini lenyap.
***
            “Eh, si Randy sekarang udah sukses.” Celetuk Rena disela kunyahan makan siangnya.
            “Randy ketua club photography itu?”
            “iya. Dia kerja di Wedding organizer Singapore.”
            “Wah… hebat. Kalau si Lina gimana? Kok gak pernah nongol sih dia?”
            “Kemarin dia mention aku, dia pindah ke New Zealand.”
            “New Zealand? Kenapa?”
            “Tau sendirilah, Papa dia kan duta besar Indonesia buat New Zealand. Jadi setelah Lina lulus, semua keluarganya diboyong kesana.”
            “Oh gitu. Gak pamit ke aku. Sialan tuh cewek.” Tawa menggema. “Terus, sang pangeranmu itu gimana?” aku menggoda Rena.
            Ekspresi wajah Rena seketika berubah.  mukanya terlihat lesuh. “Vino ngambil S2 ke jerman.” Dengan muka kusut, Rena mengabarkan sesuatu yang mencengangkan dan menggembirakan bagiku.
            “Serius?” mataku terbelalak. Aku bangga akan prestasi randy hingga Mulutku berhenti mengunyah.
            Rena mengangguk. Hanya mengangguk. Tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Masih tanpa senyum. Tanpa bangkit dari sandaran. Mukanya tertekuk. Sendok di piringnya ia ketuk-ketuk.
            Melihat gelagat anehnya, aku mulai sedikit hawatir. “Kamu baik-baik aja kan Ren?” Aku raih tangan Rena. “Kok kamu kelihatan sedih?”
            Wajah yang tertekuk berubah pucat. Dia menggeleng, “Enggak…” Bibirnya bergetar. tangannya ia tarik dari genggamanku. Kini, wajah manisnya terkatup tangan.
            “Ren…, Kamu baik-baik aja kan?”
            Pundak Rena terguncang. Saat tangan itu turun, matanya telah memerah dan basah. “Aku gak bisa bayangin,” ucapnya lirih. air mata masih turun tanpa henti. Isak tangis membuat katanya terhenti sejenak. “Apa aku bisa ngejalanin hubungan jarak jauh?”
            Hubungan jarak jauh………………………
            Hubungan jarak jauh…………………………………….
            Hubungan jarak jauh……………………………………………………
            Kalimat itu menggema di telinga. Aku terhenyak, hatiku terisak, Kalimat itu mengingatkan akan kisahku. ada sesuatu dari kalimat itu yang membuat diriku seakan ditampar. Aku mendadak sulit bernafas. Semakin aku berusaha menghirup udara, semakin terasa sesak di dalam dada. Sesak, sempit, sangat sesak.
            Mungkin aku mau mati pikirku. Mulutku mengangah, Membantu lubang hidungku mencari udara. Dadaku naik turun. Lalu semua terlihat buram. Aku masih berusaha menjangkau bulir-bulir oksigen. Aku hirup sekuat tenaga. Bukan legah yang kudapat, tapi gelap.
***
            “Syukur kamu udah sadar. Kamu tadi pingsan. Kamu tiba-tiba aja sesak nafas. Kamu kok gak pernah cerita kalau punya asma?” kalimat pertama yang aku dengar setelah terlepas dari gelap. Dan yang mengatakan itu adalah Rena. Rena masih bersamaku.
            “Asma?” tanyaku lirih. “Aku sama sekali gak punya riwayat penyakit itu.” Aku sendiri heran. bagaimana bisa aku tiba-tiba sulit bernafas lalu pingsan saat makan?
            Hubungan jarak jauh……………….
            Hubungan jarak jauh……………………………………
            Bagus. Kalimat itu masih terngiang di telinga. Tiga kata itu begitu ajaib. Bahkan pingsan tak menjamin kalimat itu hilang dalam kelam. Tetapi hanya sembunyi sesaat, lalu hadir saat terang datang.
            Tenggorokanku terasa kering. Aku beranjak dari ranjang. Baru saja berdiri, sorot mataku langsung tertuju pada kalender. Kalender itu mengingatkan sesuatu akan diriku dan dirimu, hari ini tanggal sebelas November.
            Aku tersenyum kecut. 11-11, Sangat terpampang nyata tanpa penghalang. Mataku bisa dengan leluasa melihat angka 11-11. Aku terenyuh. Tak terasa 11-11 datang lagi. Hari dimana aku harus memahami dirimu dengan segala kehidupanmu yang baru. Hari dimana aku menjadi orang satu-satunya yang kau pinang dengan sebuah janji dan cincin. Hari dimana kesetiaanku diuji.
            11-11. Hari dimana dirimu mengikrarkan kesungguhan cintamu.
            11-11. Hari dimana dirimu berpamitan untuk pergi jauh.
            Kau memang tega sayang. Memutuskan pergi saat hari bahagia itu. Tidakkah kau sadari, kepergianmu telah menodai indahnya angka 11-11 yang kau bilang hari berangka cantik. Itulah alasan kenapa 11-11 menjadi hari biasa yang tanpa perayaan apa-apa, tapi harus aku lewati dengan sepenuh hati.
            Tepat tanggal 11 November kita berhubungan jarak jauh, dan itu tidak mudah. Jarakmu terlalu jauh. Bahkan terlampau jauh. Aku belum menemukan transportasi yang mampu menjangkau tempatmu berada. Aku tidak bisa menanyakan kabarmu lewat telepon maupun chating. Di tempatmu kini berada, fasilitas itu belum ada.
            Kamu pergi memang bukan tanpa alasan. Bukan untuk belajar ke tempat jauh seperti Vino. Bukan untuk bekerja di tempat jauh seperti Randy. Bukan untuk menetap di Negara yang jauh seperti Lina. Tapi kamu pergi untuk menuntaskan takdir. Kau pergi meninggalkan semua yang mencintaimu untuk menghadap sang maha cinta.
            Ragamu memang sudah tidak ada sayang. Tapi aku yakin dan percaya cinta yang kau miliki akan selalu ada. Hidup bersama kami yang masih hidup. Melebur, bersatu dalam hati mereka yang mencintaimu. Tak terkecuali diriku.
            Aku tadi mendadak sesak nafas. Aku sadar, Mungkin itu ulahmu sayang. Kau masih disini walau aku tak mampu melihatmu. Kau diam-diam mencekikku. Membuatku susah bernafas agar aku bisa mati. Agar aku bisa berada di dekatmu dan hidup bersamamu di alammu. Iya kan sayang?
            Jlegaaaaarr… bunyi petir diluar sana seolah membawa pesan darimu. Lewat suara alam kau menolak tuduhanku. Kemudian hujan. Hujan turun seolah mewakili air matamu. Air mata kita yang hampir habis karena kisah ini.
            Jlegaaaaarrr…. Bunyi petir sekali lagi. Inikah isyarat ketidak setujuanmu akan tuduhanku?
            Sudahlah, tak usah mengelak. Aku yakin itu memang ulahmu. Kamu memang pria yang selalu menepati janji. Bukankah kau pernah berjanji akan selalu hidup bersamaku? Ya, kau baru saja berusaha menepati janjimu.
            Sudah cukup. Cukup sayang. Kau tak usah menepati janjimu. Pergilah! Pergilah menemui damaimu. Jangan menghawatirkanku. Air mata itu sudah tak ada. Aku sudah terbiasa dengan kesendirian tanpa hadirmu. Aku ikhlas dengan jarak dua dunia yang ada.
            Tenanglah dalam damai! Kau hanya perlu menungguku. Tunggu aku dalam damai!
            Aku berjanji, aku juga akan ikut menunggu. Menunggu tiba waktunya nafasku terhenti. Saat raga kita sudah sama-sama dimakan tanah, dan nyawa beserta cinta yang kekal kembali ke haribaannya, saat itulah kita bisa bersama.
            Jangan paksa aku pindah ke duniamu sekarang. Belum waktunya sayang. Biarkan aku hidup disini tanpa hadirmu. Tanpa senyummu. Aku bisa melewati hari sendiri. Walau sebenarnya aku ingin sekali segera menemuimu, tapi aku masih waras. Kontrakku di dunia fana ini masih belum habis. Aku tidak mungkin menjerat leherku sendiri untuk memutus kontrakku.
            Jika kau rindu aku, temui aku dalam setiap mimpiku. Buat aku bahagia meski hanya dalam mimpi. Dan jika aku rindu, Aku akan menyapa dan memelukmu lewat doa.
            Tunggu aku. Aku akan teguh pada kesetiaanku. Aku akan sabar menanti giliranku dikirim ke duniamu. Biarkan aku menua. Biarkan aku menunggu ajal yang akan mengantarkanku menemui dirimu, sayang.
            “Tata, kamu ngelamun?” Suara Rena membuyarkan percakapanku dengan kekasih yang kuyakini masih ada disekitar sini. Aku mendadak seperti gila. Berdialog dengan arwah?
            “Enggak kok Ren.” Jawabku selepas senyuman sinis untuk ulah bodohku.
            “Sudahlah ta. Aku tahu ini hari yang berat buat kamu. Aku ingat betul tentang tentang peristiwa di tanggal 11 November ini.” Rena memelukku dengan hangat. “makanya aku ngajak kamu makan keluar biar kamu gak terlalu larut dalam sedih.” Lanjut Rena.
            Air mataku meleleh. Aku sadar, Ternyata masih ada yang perhatian denganku selain dirimu. Aku beruntung punya sahabat seperti Rena. Aku memeluk erat tubuh Rena. Membenamkan kepala pada pundaknya seraya berbisik, “Terimakasih.”
            Dalam dekap hangat sahabat, Hatiku kembali menjalin percakapan dengan dirimu. Entah pesan ini sampai padamu atau tidak. Tapi aku yakin, kau mampu mendengarnya. Kau mampu melihatnya. Kau lihat sayang, aku tidak sendiri. Kau tak perlu menghawatirkanku lagi. Semoga kau di alam sana juga tidak sendirian.

Tunggu aku sayang! 

No comments:

Post a Comment

Other Post

Populer

Kembali Ke Atas